Jakarta - Profesor Hisanori Kato punya banyak cerita
soal masalah sosial di Indonesia. Di antaranya soal urusan ketepatan
waktu dan konflik antar ormas Islam di Tanah Air.
Dalam bukunya
yang berjudul 'Kangen Indonesia', Kato menceritakan pengalaman selama
belasan tahun tinggal di Indonesia. Pria yang kini bekerja sebagai dosen
di Jepang itu merindukan Indonesia, dengan semua permasalahannya.
Di
beberapa bab bukunya, Kato mengaku dekat dengan sejumlah tokoh ormas
Islam di Tanah Air. Mulai dari almarhum Gus Dur, pimpinan JAT Abu Bakar
Baasyir, tokoh JIL Ulil Abshar, hingga petinggi FPI Habib Riziek Shihab.
Kedekatan Kato terjadi sewaktu menulis penelitian tentang ormas Islam
di Indonesia. Saat itu, dia sedang menyelesaikan studi sosiologi agama
di Sydney, Australia.
Nah, selama proses penulisan itu, dia
sering mendengar orang Indonesia mengatakan 'Insya Allah' saat berjanji.
Pada kenyataannya, banyak orang Indonesia menggunakan frase tersebut
untuk berjanji yang tidak pasti. Bahkan mereka menggunakannya untuk
alasan ketidaktepatan waktu atau janji.
"Sebagai orang Jepang,
kalau saya berkata 'Janji ya?, saya ingin lawan bicara mengatakan 'ya,
saya mengerti'. Tetapi banyak orang Indonesia menjawab 'Insya Allah',"
tulis Kato dalam bukunya.
"Suatu hari saya berjanji dengan
seseorang sampai waktunya janjiannya lewat orang itu tidak muncul juga.
Dia berkata 'karena hujan saya tidak pergi'," sambungnya.
Kato
sempat menilai 'Insya Allah' sebagai kata sakti untuk tak menepati
janji. Namun setelah dia bertanya pada Gus Dur dan sejumlah tokoh-tokoh
Islam, konsep Insya Allah bukan demikian.
"Yang terakhir Allah
yang menentukan, tetapi sampai batas itu manusia harus berusaha dengan
seluruh kemampuan yang dimilikinya," demikian pesan Gus Dur pada Kato.
Ucapan Gus Dur pun terbukti. Kato sempat menemukan orang Islam yang benar-benar menepati ucapan dan janjinya di kemudian hari.
Nah,
selain masalah janji Insya Allah, Kato juga menyoroti pertentangan
antar ormas Islam yang tak kunjung kelar, terutama kalangan fundamental
melawan liberal.
Bagi Kato, para tokoh-tokoh yang ditemuinya
sangat terbuka dan mau berkomunikasi. Bila itu dilakukan, penyuka
masakan padang ini yakin bisa terjadi sebuah keharmonisan.
"Karena
keduanya, baik kelompok Islam liberal maupun Islam fundamental sudah
meluangkan waktu untuk saya yang nonmuslin, saya pun percaya bahwa bukan
tidak mungkin di antara sesama muslim bisa bermusyawarah dan berembuk,"
tuturnya.
Tak lupa, Kato juga kangen dengan suasana Ramadan di
Indonesia. Dia punya banyak cerita soal pengalaman puasa dan kehangatan
orang-orang yang menjalaninya.
"Suatu ketika di bulan Ramadan
saya naik angkot. Satu orang ibu di antara mereka dengan tenang
mengeluarkan kantong plastik berisi air mineral dari dalam tasnya dan
memberikan pada penumpang di sampingnya. Saya pikir orang itu temannya,
ternyata kedua orang itu tidak saling mengenal," ceritanya.
"Ramadan yang mengingatkan saya akan hal itu adalah ajaran Islam yang penting yang mempunya kekuatan besar," sambungnya.
Cerita Orang Jepang Soal Janji 'Insya Allah' dan Islam di Indonesia
18.50 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar